Pasal Pencemaran Nama Baik
Pasal Pencemaran Nama Baik
Bersosialisasi di era digital baik melalui sosial media seperti facebook, instagram, twitter ataupun melalui aplikasi percakapan instan seperti whatsapp harus memperhatian etika dan norma.
Jika anda melakukan postingan yang merugikan orang lain, baik distatus anda ataupun melalui postingan anda, maka yang bersangkutan dapat melakukan pelaporan pencemaran nama baik yang bisa berujung pidana.
Hal yang paling lazim ditemui adalah penghinaan ataupun penistaan terhadap sebuah individu ataupun organisasi. Ada juga ditemukan kasus penghinaan kepada sebuah instansi ataupun perusahaan. Tentu saja jika pihak yang anda hina tersebut merasa keberatan, maka anda akan dilaporkan ke pihak berwajib dan anda akan dikenakan Pasal Pencemaran Nama Baik
Ketentuan pasal pasal KUHP yang mengatur pencemaran nama baik sebelum adanya media sosial diatur dalam beberapa pasal, yaitu :
1. Pasal 310 KUH Pidana, yang berbunyi : (1) Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-“. (2) Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-.
2. Pasal 315 KUHP, yang berbunyi “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Tetapi kini, Setelah adanya internet maka diatur dalam ketentuan Undang-undang ITE, maka Pasal Pencemaran Nama Baik yaitu :
Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang berbunyi : “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”, Pasal 45 UU ITE, yang berbunyi : (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Bahwa pencemaran nama baik, yang secara langsung maupun melalui media sosial / internet adalah sama merupakan delik aduan, yaitu delik yang hanya dapat diproses oleh pihak kepolisian jika ada pengaduan dari korban. Tanpa adanya pengaduan, maka kepolisian tidak bisa melakukan penyidikan atas kasus tersebut.
Sedangkan untuk delik aduan sendiri berdasarkan ketentuan pasal 74 KUHP, hanya bisa diadukan kepada penyidik dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak peristiwa tersebut terjadi. Artinya setelah lewat jangka waktu 6 (enam) bulan, kasus pencemaran nama baik secara langsung maupun melalui media sosial / internet tidak lagi bisa dilakukan penyidikan. Oleh karenanya bagi anda yang merasa dicemarkan nama baiknya baik secara langsung maupun melalui media sosial internet harus mengadukannya dalam jangka waktu tersebut.
Selain itu suatu kalimat atau kata-kata yang bernada menghina atau mencemarkan nama baik, supaya bisa dijerat pidana harus memenuhi unsur dimuka umum, artinya jika dilakukan secara langsung harus dihadapan dua orang atau lebih, dan jika melalui media sosial harus dilakukan ditempat yang bisa dilhat banyaka orang semisal wall facebook, posting group, dan lain sebagainya.
Kalimat hinaan yang dikirim langsung ke inbox atau chat langsung tidak bisa masuk kategori penghinaan atau pencemaran nama baik, karena unsur diketahui umum tidak terpenuhi.
Keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Demikian salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara No. 50/PUU-VI/2008 atas judicial review pasal 27 ayat (3) UU ITE terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa nama baik dan kehormatan seseorang patut dilindungi oleh hukum yang berlaku, sehingga Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak melanggar nilai-nilai demokrasi, hak azasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum. Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah Konstitusional.
Bila dicermati isi Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE tampak sederhana bila dibandingkan dengan pasal-pasal penghinaan dalam KUHP yang lebih rinci. Oleh karena itu, penafsiran Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus merujuk pada pasal-pasal penghinaan dalam KUHP. Misalnya, dalam UU ITE tidak terdapat pengertian tentang pencemaran nama baik. Dengan merujuk Pasal 310 ayat (1) KUHP, pencemaran nama baik diartikan sebagai perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum.
Oleh: Humas UM Sumbar | Kamis,08 Desember 2022 09:02:00
Humas UM Sumatera Barat - SALAH satu yang paling banyak dituntut oleh para aktivis, penggiat HAM, akademisi, adalah penghapusan pasal pencemaran nama baik di UU ITE. Pasal tersebut dinilai berpotensi untuk membungkam demokrasi. Beberapa waktu yang lalu keinginan ini mendapatkan angin segar. Pemerintah berencana untuk mencabut pasal-pasal pencemaran nama baik yang ada dalam UU ITE.
Dilansir dari Tempo.co (28 November 2022), Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan bahwa draf RKUHP versi 24 November 2022 turut mencabut Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 UU ITE. Pasal-pasal inilah yang dijadikan dalih untuk pembungkaman. Adapun Pasal 27 ayat (1) berbunyi, “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau dapat membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, yang memiliki muatan yang melanggarkesusilaan”. Sedangkan Pasal 28 pada ayat (2) berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA)”.
Perlu diketahui bahwa sejak disahkan tahun 2016, telah banyak korban pidana menggunakan pasal pencemaran nama baik UU ITE. Ini karena pasal tersebut tidak dirumuskan dengan baik sehingga menimbulkan multi tafsir. Berikutnya pasal-pasal itu digunakan untuk kepentingan penguasa dan membungkam siapa saja yang menentang kebijakan penguasa. Ini dapat dilihat dari catatan, sepanjang tahun 2020 terdapat korban, dan tahun 2021 terdapat 38 korban jerat UU ITE, dengan rincian.
Sedikit catatan sebetulnya kabar tersebut tidak sepenuhnya baik. Sebab rencananya pemerintah akan menggantikan pasal tersebut di dalam RKUHP. Sedangkan RKUHP yang rencananya akan disahkan dalam waktu dekat juga memuat pasal-pasal kontroversial termasuk penghinaan (dan pencemaran nama baik) lembaga negara, dan ditentang oleh banyak pihak. Ini merupakan kabar yang buruk bagi iklim demokrasi. Artinya pembungkaman masih potensial adanya. Untuk proses legislasi berarti kita harus menunggu kelanjutan dari proses legislasi RKUHP.
Di samping itu bukan tidak mungkin ada alasan lain di balik (perencanaan) penghapusan pasal-pasal tersebut. Hukum merupakan produk politik, dan hukum digunakan untuk kepentingan politik. Apa pun yang seharusnya tidak boleh, demi kepentingan politik, hukum bisa dimainkan untuk melegalkan kebijakan. Hukum dan politik saling berkelindan satu sama lain. Untuk itu, saya kira tidak mungkin melepaskan kepentingan politik dari suatu produk hukum.
Mencurigai Alasan Politis Dibaliknya Iklim politik di era ini secara terang-terangan berjalan secara tidak sehat. Politik tidak lagi dipenuhi dengan perang ide dan gagasan. Politik diwarnai dengan intrik-intrik yang membawa kebencian. Serangan-serangan fisik maupun verbal marak terjadi di mana-mana. Dan negara terkesan melanggengkan keadaan-keadaan yang seperti ini. Kepentingan penguasa adalah kekuasaan itu sendiri. Tidak peduli bagaimana pun catur perpolitikan yang terjadi.
Kecurigaan politis ini bisa muncul akibat sikap ‘pembiaran’ pemerintah terhadap kelompok “pemandu sorak” milik negara. Sekelompok orang, yang dicurigai memang bekerja untuk membangun citra penguasa. Persoalan lebih kritis adalah penyerangan terhadap lawan politik dengan cara-cara yang anti-moral. Misalnya menuduh lawannya dengan narasi-narasi anti-Pancasila, anti-NKRI, radikalisme, kadrun, dan semacamnya. Sebetulnya, sangat kentara politisasi dan agenda kebencian di belakangnya.
Terhadap pihak oposisi, penyerangan secara masif melalui sosial media juga turut dilakukan. Skema-skema ini dilakukan dengan cara menyerang sosok dari seorang figur yang berlawanan dengan pemerintah. Kelompok ini berupaya menjatuhkan citra lawan politik, sampai dengan cara-cara yang tidak wajar sama sekali. Tugas utama mereka cuma dua, menghiasi wajah pemerintah dan menjatuhkan pihak yang kritis terhadap kekuasaan dengan cara apa pun itu.
Pantas untuk curiga jangan-jangan dibalik penghapusan ini adalah untuk membiarkan “pemandu sorak” pemerintah ini untuk lebih leluasa dalam mengintimidasi lawan-lawan politiknya. Beberapa waktu yang lalu Jokowi mengumpulkan partisipannya di stadion Gelora Bung Karno. Beberapa kali, Jokowi juga melahirkan pernyataan-pernyataan yang sangat kontroversial berkaitan dengan siapa yang menjadi penggantinya. Sesuatu yang sangat tidak wajar dilakukan oleh seorang Presiden.
Presiden bukanlah kepemilikan kelompok tertentu. Presiden adalah lembaga negara yang berarti milik semua warga negara. Tetapi Jokowi masih berupaya untuk membangun citra politiknya. Penguatan basis yang sebetulnya tidak perlu, untuk apa? Bahkan sampai membangun kesan bahwa Presiden hendak ingin mengatur percaturan politik ke depannya. Artinya, seorang presiden pun keluar dari koridornya: sebagai sebuah lembaga negara menjadi penjaga kekuasaan.
Maka dari itu, alih-alih akan munculnya harapan untuk demokrasi yang lebih baik, kita juga patut curiga permainan seperti apa yang akan dimainkan dibalik peraturan-peraturan penting tersebut. Terlalu dini untuk mengatakan, bahwa diumumkannya penghapusan pasal pencemaran nama baik dalam RKUHP sebagai suatu kabar baik. Apakah pemerintah benar-benar memiliki itikad baik di ujung kekuasaan?
(Penulis adalah Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat)
*** Untuk Mendapatkan Informasi Terbaru Ayo Bergabung Bersama Fanpage UM Sumatera Barat
Ikuti Juga Twitter UM Sumatera Barat
Terkait pasal pencemaran nama baik, KUHP menerangkan bahwa ada 6 bentuk dan hukuman pencemaran nama baik. Berikut ulasannya.
Merujuk Pasal 310 ayat (1) KUHP, pasal pencemaran nama baik adalah perbuatan dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan suatu hal dengan maksud agar hal tersebut diketahui oleh umum, dan pelakunya diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama 9 bulan dan denda Rp4,5 juta.
Sementara itu, dalam KUHP Baru, pasal pencemaran diatur dalam Pasal 433 UU 1/2023 yang menerangkan bahwa setiap orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II (Rp10 juta).
Bentuk Pencemaran Nama Baik dalam KUHP dan Pidananya
R Soesilo dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menerangkan bahwa ada enam bentuk hukum pencemaran nama baik yang dimuat dalam KUHP sebagai berikut.
Bentuk pertama adalah penistaan. Adapun yang dimaksud dengan penistaan adalah pencemaran nama baik berupa penghinaan dengan cara menistakan atau menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu dengan maksud agar tuduhan tersebut tersiar. Perbuatan yang dituduhkan tidak harus berupa perbuatan pidana, cukup dengan perbuatan biasa yang mana merupakan suatu perbuatan yang memalukan.
Bentuk kedua adalah penistaan dengan surat. Adapun maknanya adalah apabila perbuatan penistaan tersebut dilakukan dengan media tulisan surat atau gambar.
Tindakan penistaan atau penistaan dengan surat bisa tidak dituduhkan sebagai tindak pidana apabila tindakan tersebut dilakukan untuk membela kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri. Dalam konteks ini, hakim akan mengadakan pemeriksaan; apakah betul untuk membela diri atau penghinaan.
Jika dalam pemeriksaannya apa yang dituduhkan terdakwa tidak benar, terdakwa tidak lagi dapat dikategorikan sebagai perbuatan menista. Namun, dikenakan tindak pidana fitnah.
Pencemaran nama baik menjadi isu populer sejak kehadiran UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal 27 ayat (3) UU ITE menjadi kontroversial sejak kasus antara Prita Mulyasari dengan RS Omni Internasional Alam Sutera Tangerang pada 2009. Prita bahkan sampai ditahan di Lapas Wanita Tangerang. Ia disangka mencemarkan nama baik pihak RS Omni Internasional berdasarkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Kasus tersebut cukup panjang dan menjadi sejarah penting dalam wacana hukum Indonesia. Pasal 27 ayat (3) UU ITE menjadi dalil lain soal pencemaran nama baik selain Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sejak revisi UU ITE pada 2016 bahkan hubungan keduanya lebih jelas. Ada tambahan di bagian penjelasan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang menyebutkan ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam KUHP.
Meski unsur pencemaran nama baik kedua pasal pidana itu jelas disamakan, tetap ada dua perbedaan penting. Pertama, sarana yang digunakan untuk melakukan pencemaran nama baik. Kedua, ancaman hukuman yang dijatuhkan. Ancaman hukuman dalam UU ITE baru berlaku jika pencemaran nama baik dilakukan lewat informasi atau dokumen elektronik.
Ada dua perbedaan unsur pencemaran nama baik dalam Pasal 310 KUHP dan Pasal 27 ayat (3) UU ITE
Pencemaran nama baik juga diatur bidang hukum perdata. Acuannya adalah perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Ditambah lagi dengan ketentuan ganti rugi akibat pencemaran nama baik dalam Pasal 1372-1380 KUH Perdata. Tunggu dulu, ini belum sepenuhnya menjawab pertanyaan apakah pencemaran nama baik perusahaan dikenal dalam hukum?
UU Informasi dan Teknologi (UU ITE) telah mengalami beberapa perubahan. Meski demikian, masih ada warga yang khawatir dengan UU tersebut.
Salah satunya soal pasal pencemaran nama baik yang diatur di UU itu. Nah, hal itu menjadi pertanyaan pembaca. Berikut pertanyaan pembaca:
Halo detik's Advocate
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya mau tanya. Apakah perusahaan/korporasi berhak melaporkan pencemaran nama baik dengan UU ITE?
Saya baru saja membuat status di Facebook dan sudah saya delete. Takutnya, perusahaan yang saya sebut tidak terima dan melaporkan ke pihak kepolisian.
Pertama-tama, kami mengucapkan terima kasih sudah menanyakan permasalahan hukum yang sedang dialami ke kami. Kami harap apa yang MY alami segera berakhir.
Menjawab pertanyaan tersebut, kami menyarankan kepada MY untuk tetap sehat menggunakan dan bersuara di media sosial. Sebab, tulisan kita di media sosial dibaca oleh seluruh orang di penjuru dunia.
Menjawab pertanyaan MY, kami mengutip Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 229 Tahun 2021/No. 154 Tahun 2021/ No. KB/2/V1/2021 (SKB UU ITE) yang menyatakan bahwa :
"Korban sebagai pelapor harus orang perseorangan dengan identitas spesifik, dan bukan institusi, korporasi, profesi atau jabatan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa badan hukum tidak dapat melaporkan perkara pencemaran nama baik di media sosial sebagaimana yang diatur dalam SKB UU ITE.
Berikut lampiran SKB Pedoman Implementasi UU ITE:
Pasal 27 ayat (3), fokus pada pasal ini adalah:
1) Pada perbuatan yang dilakukan secara sengaja dengan maksud mendistribusikan/ mentransmisikan/membuat dapat diaksesnya informasi yang muatannya menyerang kehormatan seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal supaya diketahui umum.
2) Bukan sebuah delik pidana jika konten berupa penghinaan yang kategorinya cacian, ejekan, dan/atau kata-kata tidak pantas, juga jika kontennya berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan.
3) Merupakan delik aduan sehingga harus korban sendiri yang melaporkan, dan bukan institusi, korporasi, profesi atau jabatan.
4) Bukan merupakan delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik jika konten disebarkan melalui sarana grup percakapan yang bersifat tertutup atau terbatas.
5) Jika wartawan secara pribadi mengunggah tulisan pribadinya di media sosial atau internet, maka tetap berlaku UU ITE, kecuali dilakukan oleh institusi Pers maka diberlakukan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Demikian jawaban dari kami
Tim Pengasuh detik's Advocate
Tentang detik's Advocate
detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum internasional, hukum waris, hukum pajak, perlindungan konsumen dan lain-lain.
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: [email protected] dan di-cc ke-email: [email protected]
Pertanyaan ditulis dengan runtut dan lengkap agar memudahkan kami menjawab masalah yang anda hadapi. Bila perlu sertakan bukti pendukung.
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.
Surat Laporan Pencemaran Nama Baik
TEMPO.CO, Jakarta - Awal Juni lalu, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Roy Suryo melaporkan beberapa YouTuber dengan dugaan pencemaran nama baik. Ia melaporkan ke Polda Metro Jaya atas video yang telah dianggap menghinanya dan diunggah oleh YouTuber tersebut.
Kasus ini menjadi salah satu dari banyak kasus mengenai pencemaran nama baik yang ditindak lanjuti hingga ke ranah hukum. Terdapat beberapa cara untuk melaporkan pencemaran nama baik ke ranah hukum, salah satunya melalui kepolisian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pencemaran nama baik diatur dalam Pasal 310 hingga 321 KUHP dalam BAB XVI mengenai Penghinaan. Menurut Pasal 310 KUHP, tindakan pencemaran nama baik adalah barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum. Secara yuridis, pencemaran nama baik masuk dalam delik aduan, yaitu pengaduan/pelaporan hanya bisa dilakukan oleh korban atau orang yang merasa dihina dan tidak bisa diwakilkan.
Penegakan hukum mengenai pencemaran nama baik hanya bisa diusut jika terdapat laporan masuk ke kepolisian. Setidaknya ada tiga langkah yang harus disiapkan untuk dapat melaporkan ke kepolisian. Berikut langkah-langkahnya
Jika pencemaran nama baik dilakukan secara langsung, pelapor mengumpulkan saksi yang melihat dan/atau mendengar kejadian tersebut. Selain itu, terdapat barang bukti seperti foto, video, dan/atau rekaman suara dari kejadian pencemaran nama baik. Namun, jika pencemaran nama baik dilakukan secara daring atau online, maka pelapor mengumpulkan bukti berupa screenshot, foto, dan/atau video yang dapat mempertegas bahwa telah terjadi pencemaran nama baik kepada pelapor.
Kemudian, pelapor juga mengumpulkan saksi yang turut menyaksikan pencemaran nama baik di internet. Pengumpulan bukti dan saksi ini supaya dapat menjadi bahan bukti justifikasi dan memudahkan penyidik untuk melakukan penyidikan lebih lanjut.
Pelapor mempersiapkan bahan yang akan disampaikan bahwa telah terjadi pencemaran nama baik. Bahan tersebut terdiri atas konten dan konteks yang akan disampaikan kepada polisi. Pelapor dapat menjelaskan dengan baik mengenai apa yang terjadi, bagaimana kejadian tersebut terjadi, kapan, kenapa, dan siapa yang melakukan pencemaran nama baik.
Setelah siap semua, pelapor dapat ke Kepolisian dan mendatangi bagian Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) yang mengurusi pelayanan kepolisian.
Kemudian, laporan tersebut akan diselidiki oleh penyidik setelah diterbitkannya Laporan Polisi dan Surat Perintah Penyidikan. Namun, laporan pencemaran nama baik hanya akan berlaku sampai enam bulan semenjak pelapor mengetahui. Sehingga, laporan ini akan dianggap kadaluarsa jika telah melewati enam bulan sejak pelapor mengetahui.
Seperti yag kita ketahui bahwa dalam KUHP terdapat banyak pasal yang mengatur pencemaran nama baik. Melansir dari buku KUHP serta Komentarnya oleh R. Soesilo , terdapat beberapa bentuk hukum pencemaran nama baik, yakni:
Pasal ini membahas tentang tindak pencemaran yang diutarakan secara lisan. Ketika individu terbukti melakukan komponen-komponen pencemaran melalui ucapan, maka yang bersangkutan dapat dijerat dengan pasal ini.
Pasal 310 ayat 1 KUHP menyatakan "Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."
Pasal ini sering diterapkan pada kasus penghinaan di media sosial atau forum publik, di mana pelaku secara verbal menyebarkan tuduhan yang dapat merusak reputasi korban.
Pasal berikut mengatur tentang tindakan pencemaran nama baik yang dilaksanakan dalam bentuk tertulis. Individu yang mencoreng nama baik pihak lain melalui tulisan bisa dikenai sanksi pasal ini.
Pasal 310 ayat 2 menjelaskan "Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."
Di era digital, pasal ini juga mencakup pencemaran nama baik melalui media elektronik seperti email, blog, atau platform digital lainnya.
Pasal 311 KUHP mengulas mengenai aksi fitnah yang dilaksanakan oleh seseorang. Tindakan fitnah yang berpotensi merusak reputasi individu lain dapat dikenakan sanksi berdasarkan pasal ini.
Pasal 311 ayat 1 KUHP berbunyi "Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tiada dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun."
Perbedaan utama antara pencemaran nama baik dan fitnah adalah pada unsur pembuktian. Dalam kasus fitnah, pelaku tidak dapat membuktikan tuduhannya dan sudah mengetahui bahwa tuduhannya salah sejak awal.
Pasal 315 KUHP memberikan ketentuan tentang penghinaan ringan yang dilaksanakan seseorang. Definisinya, ketika seseorang menghina atau mengucapkan kata-kata kasar yang menurut pandangan masyarakat termasuk dalam kategori penghinaan, maka hal tersebut dapat memenuhi elemen dari pasal 315.
Pasal 315 KUHP menyatakan "Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."
Pasal ini sering diterapkan pada kasus penghinaan sehari-hari seperti menggunakan kata-kata kasar di tempat umum atau mengirim pesan berisi hinaan langsung kepada korban.
Pasal 317 KUHP menguraikan tentang tindakan memfitnah melalui pengaduan. Definisi memfitnah dengan pengaduan dalam pasal 317 KUHP pada ayat 1 yang berbunyi "Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun."
Pasal ini khususnya melindungi masyarakat dari tindakan pelaporan palsu yang sengaja dilakukan untuk menjatuhkan nama baik seseorang di hadapan pihak berwenang.
Pasal ini menjelaskan tentang pencemaran nama baik terhadap individu yang telah meninggal dunia. Perbuatan semacam ini dapat dikenai sanksi sesuai pasal 320 ayat 1 KUHP.
Pasal 320 ayat 1 menetapkan "Barang siapa terhadap orang yang sudah mati melakukan perbuatan yang kalau orang tersebut masih hidup, akan merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak tiga ratus rupiah."
Pasal ini memperlihatkan bahwa hukum juga melindungi kehormatan orang yang sudah meninggal, dan keluarga almarhum memiliki hak untuk menuntut jika terjadi pencemaran nama baik terhadap orang yang telah meninggal.